Senin, 01 Juli 2013


Islam mewajibkan umat muslim untuk mengkonsumsi pangan halal. Lalu, bagaimana dengan obat yang kita konsumsi ketika sakit? Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Darda yang berbunyi: "Allah telah menurunkan penyakit dan obat serta menjadikan obat bagi setiap penyakit, maka berobatlah dan janganlah berobat dengan benda yang haram."  Hadits ini jelas telah melarang kita sebagai umat muslim untuk tidak mengkonsumsi obat yang haram kecuali jika dikhawatirkan pasien  akan meninggal dunia jika tidak mengkonsumsi obat tersebut atau tidak ada obat lain yang bisa menggantikan. Sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an yang berbunyi: “Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia telah haramkan atas kamu, kecuali kamu dalam keadaan terpaksa." (QS. Al-An'am: 119).
Dewasa ini sertifikasi halal untuk pangan (makanan dan minuman) telah banyak dilakukan di Indonesia, tapi bagaimana dengan sertifikasi obat-obatan yang sangat diperlukan manfaatnya untuk kesehatan tubuh? Dalam daftar produk halal LPPOM MUI edisi Maret 2010, ada lima produk dalam kelompok obat-obatan yang terdaftar memiliki sertifikat halal. Namun kebanyakan hanya berupa produk cangkang kapsul dan gelatin kapsul, termasuk di dalamnya vaksin meningitis dan kapsul cacing. Ironisnya dari sekian puluh ribu obat di Indonesia, ternyata hanya beberapa saja yang baru mendapat sertifikasi halal. Hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya kepedulian masyarakat. Selain itu, minimnya edukasi terkait pentingnya kehalalan obat. Mungkin saja masyarakat menganggap semua obat itu halal, karena sampai saat ini jarang sekali ada berita atau isu obat haram, mungkin hanya kasus vaksin saja. Edukasi terkait indikator pengambilan status darurat pun tidak jelas sampai sejauh mana sehingga bisa dikatakan standar penentuan "kedaruratan" tersebut tergolong rendah. Oleh karena itu, masyarakat mudah menghalalkan suatu obat dengan alasan darurat namun belum memenuhi syarat kedaruratan.
Lalu apa saja kandungan dari obat khususnya obat yang berbentuk tablet yang perlu dikritisi dari segi kehalalannya? Selain komponen utama, bahan lain yang digunakan untuk pembuatan tablet cukup banyak jenisnya. Bahan-bahan yang biasanya digunakan sebagai bahan tambahan tablet sesuai kelompok fungsinya adalah sebagai berikut :
(1) Bahan pengisi : bahan yang umumnya digunakan sebagai bahan pengisi adalah pati kentang, pati jagung, pati gandum, laktosa, glukosa, manitol dan levulosa.
(2) Bahan pengikat : bahan yang umumnya digunakan sebagai bahan pengikat adalah gula, jenis pati, gelatin, turunan selulosa, gum arab, tragakan, polietilen glikol dan polivinil pirolidon.
(3) Bahan pelincir : talk, talk disilikonisasi, Ca/Mg/Al stearat, asam stearat, asam palmitat, pati aerosol, polietilen glikol, stearil--, setil--, miristil alcohol, lanette, serbuk susu bebas lemak, paraffin, lemak hidrogenase dan emulsi silicon.
(4) Bahan penghancur : pati kentang, Na karboksi metal amilo pectin, ultra amylopektin (UAP), asam alginate dan garamnya, formol gelatin, formaldehida kasein, selulosa, asam poliakrilat, Na Hidrogen, karbonat, Na-Lauril sulfat, trietanol aminoleat/stearat.
(5) Bahan penahan lembab : gliserol, pati, sorbitol.
(6) Bahan pengadsorpsi : laktosa, beberapa jenis pati, bentonit, aerosol.
(7) Bahan penghambat kelarutan : sakarosa, gum arab, tragakan, dekstrin, lemak hidrogenase, stearin, paraffin dan polietilen glikol.
Dari beberapa bahan tersebut, bahan yang perlu kita ketahui kehalalan sumbernya ialah laktosa, gelatin, gliserin, bahan-bahan yang mengandung asam-asam lemak stearat, oleat, dan  palmitat serta jenis lemak hidrogenasi. Semua bahan-bahan tersebut patut diragukan kehalalannya karena selain bisabersumber dari tanaman, bisa juga berasal dari hewan. Bahan yang berasal  dari  hewan inilah yang patut diragukan atau dicurigai. Atau apakah bahan tambahan tersebut merupakan hasil samping suatu produk pangan lainnya yang juga perlu diragukan kehalalannya seperti laktosa.
Fakta yang memprihatinkan yaitu sembilan puluh  persen bahan obat-obatan di Indonesia diimpor dari luar, mayoritas dari China dan India, sedangkan produsen obat di Indonesia hanya meracik saja dari bahan-bahan yang diimpor tersebut tanpa mengetahui status kehalalannya. Disini terlihat tidak adanya kepedulian dan kewaspadaan terhadap bahan obat-obatan impor tersebut terkait kehalalannya, sehingga dalam hal ini MUI perlu mengintensifkan peran dan fungsinya.
Oleh : Titin Septiani