Islam
mewajibkan umat muslim untuk mengkonsumsi pangan halal. Lalu, bagaimana dengan
obat yang kita konsumsi ketika sakit? Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Daud dari Abu Darda yang berbunyi: "Allah telah menurunkan penyakit
dan obat serta menjadikan obat bagi setiap penyakit, maka berobatlah dan
janganlah berobat dengan benda yang haram." Hadits ini jelas telah melarang kita sebagai
umat muslim untuk tidak mengkonsumsi obat yang haram kecuali jika dikhawatirkan
pasien
akan meninggal dunia jika tidak mengkonsumsi obat tersebut atau tidak
ada obat lain yang bisa menggantikan. Sebagaimana yang terdapat
dalam al-Qur’an yang berbunyi: “Allah
telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia telah haramkan atas kamu, kecuali kamu
dalam keadaan terpaksa." (QS. Al-An'am: 119).
Dewasa
ini sertifikasi halal untuk pangan (makanan dan minuman) telah banyak dilakukan
di Indonesia, tapi bagaimana dengan sertifikasi obat-obatan yang sangat
diperlukan manfaatnya untuk kesehatan tubuh? Dalam daftar produk halal LPPOM MUI edisi Maret
2010, ada lima produk dalam kelompok obat-obatan yang terdaftar memiliki
sertifikat halal. Namun kebanyakan hanya berupa produk cangkang kapsul dan
gelatin kapsul, termasuk di dalamnya vaksin meningitis dan kapsul cacing. Ironisnya dari sekian puluh ribu obat di Indonesia,
ternyata hanya beberapa saja yang baru mendapat sertifikasi halal. Hal ini mungkin
disebabkan karena kurangnya kepedulian masyarakat. Selain itu, minimnya edukasi
terkait pentingnya kehalalan obat. Mungkin saja masyarakat menganggap semua
obat itu halal, karena sampai saat ini jarang sekali ada berita atau isu obat
haram, mungkin hanya kasus vaksin saja. Edukasi terkait indikator pengambilan
status darurat pun tidak jelas sampai sejauh mana sehingga bisa dikatakan standar
penentuan "kedaruratan" tersebut tergolong rendah. Oleh karena itu,
masyarakat mudah menghalalkan suatu obat dengan alasan darurat namun belum
memenuhi syarat kedaruratan.
Lalu
apa saja kandungan dari obat khususnya obat yang berbentuk tablet yang perlu
dikritisi dari segi kehalalannya? Selain komponen utama, bahan lain yang
digunakan untuk pembuatan tablet cukup banyak jenisnya. Bahan-bahan
yang biasanya digunakan sebagai bahan tambahan tablet sesuai kelompok fungsinya
adalah sebagai berikut :
(1) Bahan pengisi : bahan yang
umumnya digunakan sebagai bahan pengisi adalah pati kentang, pati jagung, pati
gandum, laktosa, glukosa, manitol dan levulosa.
(2) Bahan pengikat : bahan yang
umumnya digunakan sebagai bahan pengikat adalah gula, jenis pati, gelatin,
turunan selulosa, gum arab, tragakan, polietilen glikol dan polivinil
pirolidon.
(3) Bahan pelincir : talk, talk
disilikonisasi, Ca/Mg/Al stearat, asam stearat, asam palmitat, pati aerosol,
polietilen glikol, stearil--, setil--, miristil alcohol, lanette, serbuk susu
bebas lemak, paraffin, lemak hidrogenase dan emulsi silicon.
(4) Bahan penghancur : pati kentang,
Na karboksi metal amilo pectin, ultra amylopektin (UAP), asam alginate dan
garamnya, formol gelatin, formaldehida kasein, selulosa, asam poliakrilat, Na
Hidrogen, karbonat, Na-Lauril sulfat, trietanol aminoleat/stearat.
(5) Bahan penahan lembab : gliserol,
pati, sorbitol.
(6) Bahan pengadsorpsi : laktosa,
beberapa jenis pati, bentonit, aerosol.
(7) Bahan
penghambat kelarutan : sakarosa, gum arab, tragakan, dekstrin, lemak
hidrogenase, stearin, paraffin dan polietilen glikol.
Dari
beberapa bahan tersebut, bahan yang perlu kita ketahui kehalalan sumbernya ialah
laktosa, gelatin, gliserin, bahan-bahan yang mengandung asam-asam lemak
stearat, oleat, dan palmitat serta jenis
lemak hidrogenasi. Semua bahan-bahan tersebut patut diragukan kehalalannya
karena selain bisabersumber dari tanaman, bisa juga berasal dari hewan. Bahan
yang berasal dari hewan inilah yang patut diragukan atau
dicurigai. Atau apakah bahan tambahan tersebut merupakan hasil samping suatu
produk pangan lainnya yang juga perlu diragukan kehalalannya seperti laktosa.
Fakta yang memprihatinkan yaitu sembilan puluh persen bahan obat-obatan di Indonesia diimpor
dari luar, mayoritas dari China dan India, sedangkan produsen obat di Indonesia
hanya meracik saja dari bahan-bahan yang diimpor tersebut tanpa mengetahui status
kehalalannya. Disini terlihat tidak adanya kepedulian dan kewaspadaan terhadap
bahan obat-obatan impor tersebut terkait kehalalannya, sehingga dalam hal ini
MUI perlu mengintensifkan peran dan fungsinya.
Oleh : Titin Septiani