Lebaran Haji atau lebih formalnya
dikenal sebagai Hari Raya Idul Adha adalah sebuah hari besar Islam untuk
memperingati peristiwa Kurban yang terjadi pada zaman Nabi Ibrahim dan Ismail.
Kurban merupakan salah satu peristiwa terpenting dalam ajaran agama Islam
ketika Nabi Ibrahim bersedia mengorbankan putranya Nabi Ismail kepada Allah
SWT. Di Indonesia, Lebaran Haji diperingati sebagai hari libur Nasional setiap
tanggal 10 Dzulhijjah berdasarkan kalender Hijriah.
Penyembelihan
hewan kurban harus sesuai dengan apa yg telah diperintahkan, Allah berfirman
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah,
kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah
ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). “ (QS. Al Hajj : 36). Kemudian di
jelaskan secara rinci dalam hadist-hadist Rosullullah yg mengatakan bahwa
menyembelih hewan kurban itu adalah pada pangkal lehernya. Namun hal ini
menjadi pertentangan di negara-negara mayoritas non-muslim.
Di Belanda terdapat rancangan undang-undang (RUU) yang
melarang peemotongan hewan kurban sesuai dengan syari’at Islam. RUU itu mengklaim bahwa cara
penyembelihan menurut syariah Islam itu
“tidak manusiawi”. Sebab undang-undang Belanda mensyaratkan bahwa binatang yang
disembelih harus dalam keadaan tidak sadar, agar tidak merasakan sakit atau
ketakutan. Sementara aturan Islam mensyaratkan bahwa binatang yang disembelih
harus dalam keadaan sadar. Dengan demikian Belanda telah menambah daftar
negara-negara yang melarang penyembelihan sesuai syariah Islam, yaitu Selandia
Baru, negara-negara Skandinavia dan Swiss.
Berdasarkan penelusuran detikbandung,
Nanung Danar Dono, S.Pt., M.P., Sekretaris Eksekutif LP.POM-MUI Propinsi DIY
dan Dosen Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta, membuat makalah mengenai hal ini.
Di beberapa website Islam seperti baitul-ummah.org serta blog pribadi maupun
forum komunitas, ringkasan makalah itu yang dibuat Usman Effendi tersebar. Disebutkan dua staf ahli peternakan dari
Hannover University, sebuah universitas terkemuka di Jerman, yaitu Prof Dr
Schultz dan koleganya Dr Hazim memimpin penelitian mengenai manakah yang lebih
baik dan paling tidak sakit, penyembelihan secara Syari’at Islam yang murni
(tanpa proses pemingsanan) ataukah penyembelihan dengan cara Barat (dengan
pemingsanan)?
Keduanya merancang penelitian sangat
canggih, mempergunakan sekelompok sapi yang telah cukup umur (dewasa). Pada
permukaan otak kecil sapi-sapi itu dipasang elektroda (microchip) yang disebut
Electro-Encephalograph (EEG). Microchip EEG dipasang di permukaan otak yang
menyentuh titik (panel) rasa sakit di permukaan otak, untuk merekam dan
mencatat derajat rasa sakit sapi ketika disembelih. Di jantung sapi-sapi itu juga dipasang
Electro Cardiograph (ECG) untuk merekam aktivitas jantung saat darah keluar
karena disembelih. Untuk menekan kesalahan, sapi dibiarkan beradaptasi dengan
EEG maupun ECG yang telah terpasang di tubuhnya selama beberapa minggu. Setelah masa adaptasi dianggap cukup, maka
separuh sapi disembelih sesuai dengan Syariat Islam yang murni, dan separuh
sisanya disembelih dengan menggunakan metode pemingsanan yang diadopsi Barat.
Dalam Syariat Islam, penyembelihan
dilakukan dengan menggunakan pisau yang tajam, dengan memotong tiga saluran
pada leher bagian depan, yakni saluran makanan, saluran nafas serta dua saluran
pembuluh darah, yaitu arteri karotis dan vena jugularis.Selama penelitian, EEG
dan ECG pada seluruh ternak sapi itu dicatat untuk merekam dan mengetahui
keadaan otak dan jantung sejak sebelum pemingsanan (atau penyembelihan) hingga
ternak itu benar-benar mati.
Dari hasil penelitian
yang dilakukan dan dilaporkan oleh Prof Schultz dan Dr Hazim di Hannover
University Jerman itu dapat diperoleh kesimpulan bahwa hasil
penelitian dengan menerapkan praktik penyembelihan menurut Syariat Islam
menunjukkan: Pertama, pada 3 detik pertama setelah ternak
disembelih (dan ketiga saluran pada leher sapi bagian depan terputus), tercatat
tidak ada perubahan pada grafik EEG. Hal ini berarti bahwa pada 3 detik pertama
setelah disembelih itu, tidak ada indikasi rasa sakit; Kedua, pada 3 detik
berikutnya, EEG pada otak kecil merekam adanya penurunan grafik secara bertahap
yang sangat mirip dengan kejadian deep sleep (tidur nyenyak) hingga sapi-sapi
itu benar-benar kehilangan kesadaran. Pada saat tersebut, tercatat pula oleh
ECG bahwa jantung mulai meningkat aktivitasnya; Ketiga, setelah 6 detik pertama itu, ECG pada
jantung merekam adanya aktivitas luar biasa dari jantung untuk menarik sebanyak
mungkin darah dari seluruh anggota tubuh dan memompanya keluar. Hal ini merupakan refleksi gerakan
koordinasi antara jantung dan sumsum tulang belakang (spinal cord). Pada saat
darah keluar melalui ketiga saluran yang terputus di bagian leher tersebut,
grafik EEG tidak naik, tapi justru drop (turun) sampai ke zero level (angka
nol). Hal ini diterjemahkan oleh kedua peneliti ahli itu bahwa: “No feeling of
pain at all!” (tidak ada rasa sakit sama sekali); Keempat, karena darah tertarik dan terpompa oleh
jantung keluar tubuh secara maksimal, maka dihasilkan healthy meat (daging yang
sehat) yang layak dikonsumsi bagi manusia. Jenis daging dari hasil sembelihan
semacam ini sangat sesuai dengan prinsip Good Manufacturing Practise (GMP) yang
menghasilkan Healthy Food.
Sedangkan Penyembelihan dengan cara Dipingsankan menunjukkan bahwa: Pertama,
segera setelah dilakukan proses stunning (pemingsanan), sapi terhuyung jatuh
dan roboh. Setelah itu, sapi tidak bergerak-gerak lagi, sehingga mudah
dikendalikan. Oleh karena itu, sapi dapat pula dengan mudah disembelih tanpa
meronta-ronta, dan tampaknya tanpa mengalami rasa sakit. Pada saat disembelih,
darah yang keluar hanya sedikit, tidak sebanyak bila disembelih tanpa proses
stunning (pemingsanan); Kedua, segera setelah proses pemingsanan,
tercatat adanya kenaikan yang sangat nyata pada grafik EEG. Hal itu
mengindikasikan adanya tekanan rasa sakit yang diderita oleh ternak (karena
kepalanya dipukul, sampai jatuh
pingsan); Ketiga, grafik EEG meningkat sangat tajam dengan
kombinasi grafik ECG yang drop ke batas paling bawah. Hal ini mengindikasikan
adanya peningkatan rasa sakit yang luar biasa, sehingga jantung berhenti
berdetak lebih awal. Akibatnya, jantung kehilangan kemampuannya untuk menarik
dari dari seluruh organ tubuh, serta tidak lagi mampu memompanya keluar dari
tubuh; Keempat,
karena darah tidak tertarik dan tidak terpompa keluar tubuh secara maksimal,
maka darah itu pun membeku di dalam urat-urat darah dan daging, sehingga dihasilkan
unhealthy meat (daging yang tidak sehat), yang dengan demikian menjadi tidak
layak untuk dikonsumsi oleh manusia.
Disebutkan
dalam khazanah ilmu dan teknologi daging, bahwa timbunan darah beku (yang tidak
keluar saat ternak mati/disembelih) merupakan tempat atau media yang sangat
baik bagi tumbuh-kembangnya bakteri pembusuk, yang merupakan agen utama merusak
kualitas daging. Hasil
penelitian Prof Schultz dan Dr Hazim juga membuktikan pisau tajam yang mengiris
leher ternyata tidaklah ‘menyentuh’ saraf rasa sakit. Oleh karenanya kedua
peneliti ahli itu menyimpulkan bahwa sapi meronta-ronta dan meregangkan otot
bukanlah sebagai ekspresi rasa sakit, melainkan sebagai ekspresi keterkejutan
otot dan saraf saja yaitu pada saat darah mengalir keluar dengan deras. Mengapa demikian? Hal ini tentu tidak
terlalu sulit untuk dijelaskan, karena grafik EEG tidak membuktikan juga tidak
menunjukkan adanya rasa sakit itu.
Terlihat bahwa
dengan adanya penelitian tersebut membuktikan bahwa apa yang di perintahkan
Allah SWT dan Rosulnya adalah benar adanya. Kita sebagai seorang muslim wajib
mengikuti apa yang diperintahkan dan dilarang-Nya serta selalu berpegang teguh
kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Maha Benar Allah atas segala firman-Nya.
Oleh : Wahyu Wibowo
subhanalloh....
BalasHapustrimakasih dah mampir.. salam kenaal .. :)
Hapus