Berbicara tentang asas halal-haram pangan, sungguh tidak ada
habisnya. Meskipun telah jelas perkara yang baik dan yang buruk. Kesadaran
untuk mengonsumsi pangan halal nampaknya baru disadari oleh sebagian masyarakat
saja. Bahkan banyak dari masyarakta kita yang gemar mengonsumsi makanan hanya
sabagai pemuas nafsu belaka meskipun telah jelas dilarang oleh Islam. Berkaitan
dengan halal haram pangan, terdapat pula beberapa pangan yang dianggap masih
samar atau syubhat. Beberapa pangan yang termasuk kategori syubhat ini akan
coba dibahas di sini.
1.
Kepiting
Kepiting
pada hakekatnya adalah jenis binatang air karena bernafas dengan insang, berhabitat di
air dan tidak akan pernah mengeluarkan telur di darat, melainkan di air karena
memerlukan oksigen dari air. Kepiting hanya ada yang hidup di air tawar saja,
hidup di air laut saja, dan hidup di air laut dan di air tawar. Tidak ada yang
hidup atau berhabitat di dua alam ( laut dan darat ). Fatwa MUI tahun 2012
menegaskan bahwa kepiting halal untuk dikonsumsi. Seperti halnya kepiting,
belut pun mempunyai habitat asli di air. Hewan ini hanya mampu bertahan beberpa
saat di lingkungan tanpa air.
2.
Bekicot, Keong.
Fatwa MUI
2012 menyatakan bahwa bekicot haram hukumnya untuk dikonsumsi. Hal ini
dikarenakan bekicot adalah jenis hewan yang hidup hasyarat yakni hewan melata. Berdasarkan rujukan mayoritas kaum
ulama Fikh, hewan ini jelas haram, walaupun masih ada sebagian ulama yang menghalalkannya. Tutut (Keong/Bellamya javanica/Viviparus
javanicus) adalah hewan yang mirip dengan bekicot namun habitatnya adalah
di air. Hewan jenis ini halal untuk dikonsumsi karena jelas habitatnya di air.
Sekretaris Fatwa MUI, Asrorun Niam menegaskan bahwa tidak semua hewan yang
haram dimakan maka sifatnya najis. Sehingga apabila diperlukan untuk
kepentingan obat, air lendirnya masih diperbolehkan dan tidak bersifat najis.
3.
Cacing
MUI telah
mengeluarkan Fatwa Nomor: Kep-139/MUI/IV/2000 tanggal 18 April 2000, tentang
Makan dan Budi daya Cacing dan Jengkrik, yang menegaskan :
a)
Cacing adalah salah satu
jenis hewan yang masuk dalam kategori al-easyarat;
b) Membenarkan
adanya pendapat ulama (Imam Malik, Ibn Abi Laila dan al-Auz’i) yang
menghalalkan memakan cacing sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan dan
pendapat ulama yang mengharamkan memakannya;
c) Membudidayakan
cacing untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan, tidak bertentangan dengan
hukum Islam;
d) Membudidayakan
cacing untuk diambil sendiri manfaatnya, untuk pakan burung misalnya, tidak
untuk dimakan atau dijual, hukumnya boleh (mubah).
4.
Hyena, binatang buas
bertaring yang dihalalkan
Pendapat yang paling kuat di kalangan ulama -dan ini merupakan
pendapat Imam Asy-Syafi’iy & Imam Ahmad- adalah halal & bolehnya
memakan daging hyena (kucing padang pasir). Hal ini berdasarkan hadits
‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin Abi ‘Ammar, beliau berkata, “Saya bertanya
kepada Jabir, “Apakah hyena termasuk hewan buruan?”, beliau menjawab, “Ia”.
Saya bertanya lagi, “Apakah boleh memakannya?”, beliau menjawab, “Boleh”. Saya
kembali bertanya, “Apakah pembolehan ini telah diucapkan oleh Rasulullah?”,
beliau menjawab, “Ia” [1]. Adapun jika ada yang menyatakan bahwa hyena adalah
termasuk hewan buas yang bertaring, maka kita jawab bahwa hadist Jabir di atas
lebih khusus daripada hadist yang mengharamkan hewan buas yang bertaring
sehingga hadits yang bersifat khusus lebih didahulukan. Dengan kata lain, hyena
diperkecualikan dari pengharaman hewan buas yang bertaring [2].
Berbincang terkait hukum berobat dengan sesuatu yang haram, terdapat
dua pendapat di kalangan ulama. Pendapat pertama mengharamkan secara total,
sedangkan pendapat kedua memperbolehkan karena darurat.
1.
Pendapat Yang
Mengharamkan
Pendapat ini menyatakan bahwa apa pun dalihnya, pokoknya haram
hukumnya bagi seorang muslim memakan hewan yang sudah diharamkan Allah untuk
mengkonsumsinya. Mereka juga tidak menerima kalau dikatakan bahwa sebuah
penyakit tidak ada obatnya. Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan
obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan
janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR Abu
Dawud).”Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang
diharamkankan Allah atasmu.” (HR Bukhari dan Baihaqi).
2.
Pendapat Yang
Menghalalkan
Pendapat
kedua yang menghalalkan berobat dengan sesuatu yang haram, menggunakan dua
dalil utama.
2.1. Dalil Kedaruratan
Dalam hukum syariat, ada kaidah bahwa sesuatu yang dharurat itu bisa menghalalkan sesuatu yang dilarang. Ad-Dharuratu tubihul mahdzurat. Selain itu Allah SWT telah berfirman: Dan barangsiapa yang terpaksa pada (waktu) kelaparan dengan tidak sengaja untuk berbuat dosa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih. (QS. Al-Maidah: 3)
Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia telah haramkan atas kamu, kecuali kamu dalam keadaan terpaksa." (QS. Al-An'am: 119)
Namun mereka sepakat dalam menetapkan syarat-syarat yang harus terpenuhi, antara lain:
• Terdapat bahaya yang mengancam kehidupan manusia jika tidak berobat.
• Tidak ada obat lain yang halal sebagai ganti obat yang haram itu.
• Adanya suatu pernyataan dari seorang dokter muslim yang dapat dipercaya, baik pemeriksaannya maupun agamanya (i'tikad baiknya)
2.2. Rukhshah (Keringanan) di Masa Nabi.
Dalam hukum syariat, ada kaidah bahwa sesuatu yang dharurat itu bisa menghalalkan sesuatu yang dilarang. Ad-Dharuratu tubihul mahdzurat. Selain itu Allah SWT telah berfirman: Dan barangsiapa yang terpaksa pada (waktu) kelaparan dengan tidak sengaja untuk berbuat dosa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih. (QS. Al-Maidah: 3)
Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia telah haramkan atas kamu, kecuali kamu dalam keadaan terpaksa." (QS. Al-An'am: 119)
Namun mereka sepakat dalam menetapkan syarat-syarat yang harus terpenuhi, antara lain:
• Terdapat bahaya yang mengancam kehidupan manusia jika tidak berobat.
• Tidak ada obat lain yang halal sebagai ganti obat yang haram itu.
• Adanya suatu pernyataan dari seorang dokter muslim yang dapat dipercaya, baik pemeriksaannya maupun agamanya (i'tikad baiknya)
2.2. Rukhshah (Keringanan) di Masa Nabi.
Diriwayatkan oleh
Imam Lima & dishohihkan oleh Al-Bukhary, At-Tirmidzy & selainnya.
Perkara-perkara syubhat seringkali menjadi perdebatan bahkan dapat berpotensimenimbulkan permusuhan. Oleh sebab itu Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk menjauhi perkara-perkara syubhat. Beliau berkata dalam hadistnya :
"Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam dan kesayangannya radhiallahuanhuma dia berkata: Saya menghafal dari Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam (sabdanya): Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu."
(Riwayat Turmuzi dan dia berkata, Haditsnya hasan shahih).
Wallahuallam
Perkara-perkara syubhat seringkali menjadi perdebatan bahkan dapat berpotensimenimbulkan permusuhan. Oleh sebab itu Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk menjauhi perkara-perkara syubhat. Beliau berkata dalam hadistnya :
"Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam dan kesayangannya radhiallahuanhuma dia berkata: Saya menghafal dari Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam (sabdanya): Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu."
(Riwayat Turmuzi dan dia berkata, Haditsnya hasan shahih).
Wallahuallam
Oleh Isnaini Ayu Lestari
TADZ hewan apa saja yang mengandung hukum subhat selain diatas.
BalasHapus